Kembali Terjun, Ini Target Atlet Muda Loncat Indah di Kejuaraan Budapest Hungaria 2022

Kembali Terjun, Ini Target Atlet Muda Loncat Indah di Kejuaraan Budapest Hungaria 2022

Setelah vakum hampir dua tahun dari kompetisi di tingkat internasional karena pandemi Covid-19, atlet loncat indah Jawa Timur, Gladies Lariesa Garina Haga Kore (16), akhirnya bisa berlaga lagi. Kali ini, dia berkompetisi tingkat dunia pada FINA World Championships ke-19 di Kota Budapest, Hungaria, 26 Juni – 3 Juli 2022 mendatang. Atlet peraih tiga medali emas PON Papua 2021 itu berkesempatan mengukur kemampuan di tingkat yang lebih tinggi. Ajang ini sekaligus menjadi sarana mengasah mental tanding hingga lebih siap menghadapi Olimpiade 2024 mendatang. Pelatih Loncat Indah Jatim, Ronaldy Herbintoro, mengungkapkan saat persiapan kejuaraan di Surabaya dari sisi kesiapan, salah satu atlet binaan Dispora Jatim melalui program SPOP (Sentra Pembinaan Olahraga Pelajar) ini memiliki materi loncatan yang bisa disejajarkan dengan atlet-atlet loncat indah dunia. “Hasil di PON Papua bisa jadi tolok ukur kemampuan teknik dan mental Gladies. Dengan pertimbangan itulah, kami selaku pelatih mendaftarkan Gladies pada kejuaraan dunia,” ungkap Ronaldy Herbintoro, Rabu (15/6/2022). Lebih lanjut, Ronaldy berharap, Gladies mendapatkan pengalaman berharga bisa berkompetisi dengam atlet-atlet loncat indah dunia, yang tentunya mereka sekelas atlet Olympic Games. “Dengan kesempatan ini, Gladies bisa belajar banyak dan mengukur sudah sejauh mana kamampuan teknik loncatan yang dimilikinya,” harapnya. Disisi lain dalam ajang event tersebut, Gladies bisa melampaui limit nilai untuk kualifikasi Olympic Games. “Capaian nilai ini bisa dijadikan acuan untuk mengembangkan kemampuan Gladies agar menjadi lebih baik lagi,” imbuhnya. Bahkan kesempatan besar ini tak lepas dari peran serta Pemerintah Provinsi Jawa Timur, melalui KONI Jatim, kemudian dukungan dari PB PRSI dan Pengprov PRSI Jatim. “Para pemangku kepentingan sangat support terhadap langkah-langkah kami untuk mewujudkan prestasi kelas dunia, khususnya di cabor loncat indah,” ucap Ronaldy.

Cerita Naura Peraih 5 Emas Sepatu Roda PON XX

Cerita Naura Peraih 5 Emas Sepatu Roda PON XX

Luar biasa. Mungkin ungkapan tersebut yang cocok diberikan untuk Naura Rahmadija Hartanti. Atlet yang baru berusia 15 tahun tersebut sukses menyabet lima emas dari lima nomor yang diperlombakan di cabang olahraga sepatu roda yang diikutinya di ajang olahraga terbesar di Tanah Air, yaitu Pekan Olahraga Nasional XX Papua pada 2-15 Oktober 2021. Di PON Papua, Naura Rahmadija Hartanti atau yang akrab disapa Ola berlaga di lima nomor, yaitu sprint 1.000 meter putri, sprint 500 meter putri, relay 3.000 meter putri (beregu), maraton 42.000 meter putri, dan team time trial 10.000 meter putri (beregu). Semua emas dibabat habis olehnya. ”Alhamdulillah semuanya dapat emas,” ujar Ola, Selasa (19/10/2021), dikutip dari Kompas.id. Perolehan itu membuat Provinsi DKI Jakarta yang diwakilinya menjadi juara umum cabang olahraga sepatu roda di PON Papua. ”Seneng banget, bangga banget, puas. Capek yang selama ini aku jalanin, semuanya terbayar. Hasil enggak mengkhianati usaha,” kata Ola. Sejak awal, Ola memang memasang target tinggi untuk setiap nomor yang diikutinya. Target tinggi atau menjadi yang terbaik itu sudah menjadi prinsip Ola sejak mulai serius menekuni olahraga sepatu roda meski perjalanan untuk memberikan yang terbaik tidak selalu mudah. ”Untuk persiapan PON itu sekitar dua tahun. Harusnya setahun, karena kehambat pandemi, jadinya dua tahun,” kata Ola yang mulai masuk pelatda tahun 2017 saat usianya 11 tahun. Karena pandemi, Ola sempat sampai harus latihan sendiri di rumah melakukan program-program yang diberikan kepadanya. Baginya, hal itu tidak mudah. ”Latihan di rumah itu tantangannya diri kita sendiri. Karena kita dikasih program, tanggung jawabnya ke diri sendiri. Itu susah karena pasti ada cheating-cheating-nya dan lain-lain,” kata Ola yang sempat cedera di masa-masa mempersiapkan diri menghadapi PON. PON yang kemudian mundur karena pandemi memberi waktu bagi Ola untuk menyembuhkan cedera pada kakinya. Empat bulan menjelang PON, jadwal latihan semakin padat. Ola dan atlet-atlet lain harus masuk ke training camp. Mereka dikumpulkan di sebuah mes agar lebih fokus menghadapi PON. ”Itu mulai sangat intensif latihannya. Pagi, siang, malam. Sehari tiga kali latihan,” kata Ola. Selama masa ”karantina”, Ola bergaul dengan sesama atlet yang usianya lebih senior darinya, rata-rata mahasiswa. Namun, mereka cocok-cocok saja. Meski harus jauh dari rumah, Ola sangat menikmati seluruh proses yang tak hanya mematangkan fisik, tetapi juga kondisi mental tersebut. Dalam setiap kompetisi, peperangan psikologis (psy war) kerap kali justru memberi pengaruh besar. ”Sebenarnya kalau mental, biasanya dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, jadi bisa kena ke kita. Tapi aku kalau sama lingkungan itu kayak ya udah terserah mau apa. Yang penting aku ngelakuin buat aku sendiri, yang terbaik buat aku,” tutur Ola. Bekal-bekal itu kemudian dia bawa saat berlaga, termasuk berupaya untuk selalu mengendalikan diri di lapangan. Jam terbangnya yang cukup tinggi di dunia sepatu roda menjadi bekal untuk mengontrol dirinya saat bertanding. ”Kadang, tuh, kalau udah bermain, body contact sedikit aja emosinya bisa sangat meluap. Tapi aku selalu dikasih tahu untuk tenang. Kalau enggak, malah bisa didiskualifikasi. Jadi lebih nahan emosi aja saat di lapangan,” katanya. Namun, dari semua itu, yang paling penting menurut Ola adalah menjalaninya dengan senang. Tidak perlu terlalu terbeban. ”Yang penting lakukan yang terbaik. Enjoy. Hasil akhirnya apa, ya udah, berarti emang itu kehendak Tuhan,” ucap Ola. Berdoa, bagi Ola, juga menjadi hal penting. ”Tuhan bisa berkehendak apa aja. Bahkan, kalau udah doa sekeras apa pun, kalau Tuhan berkehendak, kita enggak bisa ngapa-ngapain juga. Yang penting tawakal aja, tapi berusaha kerja keras. Kalau enggak ada doa, setiap latihan itu bisa terjadi apa aja, jatuh, cedera, atau apa pun yang kita enggak mau terjadi,” ungkapnya. Sepatu roda sudah menarik perhatian Ola sejak duduk di kelas I SD. Saat itu, tahun 2012, Ola kecil yang tengah berolahraga di kawasan Stadion Utama Gelora Bung Karno melihat ada komunitas sepatu roda. Dia lalu tertarik mencoba. ”Anak kecil, kan, sukanya kenceng-kencengan gitu, lari-larian. Wah, ini (sepatu roda) keren juga bisa kenceng-kencengan,” kenang Ola. Mengikuti jejak sang kakak, Ola pun lalu bergabung di Klub V3 (Vini Vidi Vici). Kedua orangtuanya sangat suportif. Selama Ola enjoy melakoninya, mereka mendukung. ”Pas baru masuk, pemula, latihannya tiap weekend. Lalu pas naik ke standar, jadi seminggu empat kali,” ujar Ola. Kala itu, Ola kecil sempat kerap ogah-ogahan. Kadang dia mau latihan, tak jarang juga hanya melihat orang berlatih saja. ”Sampai akhirnya aku kalah di suatu perlombaan. Dari situ aku merasa pengin menang. Akhirnya mulai serius latihan,” papar gadis dengan tinggi badan 165 cm dan berat 56 kilogram ini. Dia menanamkan tekad untuk tak lagi malas atau bermain-main belaka. Apalagi jarak rumahnya di Bekasi kala itu dan tempat latihan di Senayan cukup jauh. Dia tak ingin mengecewakan sang mama yang setia menemaninya latihan. Kemenangan pertamanya diraih dalam sebuah lomba sepatu roda di Serang, Banten. Dari situ Ola mulai ”kecanduan” menang. ”Sekalinya menang, kan, merasa puas sama diri sendiri. Jadi semangat latihan untuk terus menang,” terang Ola. Menjadi atlet kemudian menjadi pilihan Ola. Di klubnya, Ola menjadi anggota yang pertama kali lolos seleksi pelatda. Sayang, saat sudah serius berlatih, Ola terdepak dari pelatda karena alasan usia yang masih terlalu muda. Hal ini sempat membuatnya patah semangat hingga akhirnya Ola dipanggil kembali masuk pelatda. ”Nah, di situ aku bener-bener langsung nunjukin skill. Bahwa aku, tuh, pantas dan mulai pengin ke jenjang yang lebih tinggi lagi,” kata Ola. Di pelatda, Ola berlatih seminggu enam kali. Praktis istirahat hanya satu hari. Ola tetap semangat. Pengalaman mengikuti training camp di Taiwan tahun 2016 dan 2017 serta bergaul dengan atlet-atlet asal China membuat Ola belajar semakin banyak. Tak hanya soal keterampilan, tetapi juga soal disiplin diri. ”Atlet-atlet China itu, kan, disiplinnya tinggi banget, aku belajar juga dari mereka, lalu juga mulai improve diriku sendiri,” kata Ola. Semua itu dibuktikan di ajang PON XX Papua dengan hasil fantastis. Dengan sepatu rodanya, Ola meluncur seolah tak terbendung menyabet lima emas. Seusai PON, tak ada kata santai. Selain kembali fokus mengejar ketertinggalan di sekolah, Ola juga tengah menantikan seleksi Asian Games 2022 yang akan berlangsung pada Desember 2021. Latihan-latihan ringan sudah mulai dilakukan. Ola menyimpan harapan agar kelak sepatu roda dipertandingkan di Olimpiade. Jika rumor itu terbukti benar, Ola tentu akan bersiap ambil bagian. ”Kalau misalkan memang bener, target jangka panjangnya, ya, … Read more

Bocah Ajaib Ini Pecahkan Rekor Boaz Salossa

Bocah Ajaib Ini Pecahkan Rekor Boaz Salossa

Tim sepak bola Papua akhirnya sukses mengalahkan tamumya Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) di laga final Pekan Olahraga Nasional (PON) XX. Laga yang berlangsung di Stadion Mandala Jayapura, Kamis petang (14/10/2021) itu berakhir dengan skor 2-0. Adalah sang kapten, Ricky Ricardo Cawor yang membuyarkan ambisi anak-anak asuhan Fakhri Husaini membawa medali emas ke Tanah Rencong. Pada laga ini, mantan juru gedor Persemi Mimika ini memborong dua gol. Satu lewat titik putih di menit ke-4 setelah terjadi pelanggaran pemain belakang Aceh, satu lagi lewat sepakan kerasnya dari luar kotak pinalti di menit ke-22, memaksa penjaga gawang Chairil Zul memungut bola dari gawangnya. Tambahan koleksi dua gol di partai final ini membuat Ricky mencatatkan namanya sebagai top skor sepak bola putra PON XX Papua dengan 11 gol. Sekaligus, ia juga menorehkan rekor sebagai striker paling produktif sepanjang PON digelar sejak tahun 1948 di Solo. Capaian Ricky melewati seniornya Boaz Salossa pada PON XVI Palembang 2004 dengan 10 gol, dan David Saidui pada PON XII 1993 Jakarta dengan 9 gol. Ricky mencetak dua gol pada laga final menghadapi Aceh pada Kamis (14/10). Sisanya dua gol saat semifinal melawan Kalimantan Timur dan tujuh gol pada fase grup. Seperti anak-anak Papua pada umumnya, Ricky menyukai sepak bola. Hari-harinya tak pernah lepas dari sepak bola, meski juga tak pernah ikut sekolah sepak bola (SSB). Saat memasuki usia 15, Ricky mulai tampil dalam ajang tarikan kampung atau tarkam. Ia bergabung dengan Gelora Putra FC dan sering juara serta jadi top skor. Hal ini yang membuat namanya mulai dikenal. Beberapa klub Liga 3 Papua pun memintanya bergabung. Seperti dapat durian runtuh pada 2017 ia dipinang Persimer Merauke. Tak disangka bergabung dengan Persimer membuat pemuda kelahiran Merauke, 26 Januari 1998 ini mulai mencuri perhatian klub-klub Liga 3 Papua. Musim berikutnya Ricky memutuskan keluar kampung dan membela Persemi Mimika untuk Liga 3 2018. Pelatih Persemi saat itu, Eduard Ivakdalam, yang mengajaknya bergabung. Ketertarikan Edu dengan Ricky bermula dari laga Persimer kontra Persewar pada 31 Juli 2017. Mantan kapten Persipura ini terpikat dengan Ricky meski Persimer kalah 0-3. Semusim ditangani pelatih yang dipanggil ‘paitua’ tersebut di Persemi, kualitas Ricky makin matang. Persipura, Barito Putera, hingga Bhayangkara FC tertarik merekrutnya. Setelah berdiskusi dengan sejumlah pihak, termasuk Edu, Ricky memilih tak menjadi pemain profesional. Edu berjanji mengajaknya masuk tim Papua untuk PON 2021. Tak hanya masuk menjadi bagian tim Papua, Ricky juga dipilih menjadi kapten tim. Kematangannya sebagai striker dapat arahan yang tepat dan mendalam dari Edu. Aksi memikat pun konsisten ditunjukkan Ricky di PON Papua. Puncaknya Ricky berhasil meraih gelar top skor dan membawa Papua juara untuk kali ketiga di cabor sepak bola PON. Luar biasa!

Sosok Ini Curi Perhatian Menpora Usai Sabet 3 Medali Emas Pada Debut PON

Sosok Gladies Yang Curi Perhatian Menpora Usai Sabet 3 Medali Emas di Debut PON

Atlet loncat indah asal Jawa Timur, Gladies Lariesa Garina Haga Kore berhasil meraih tiga medali emas di Pekan Olahraga Nasional (PON) XX Papua 2021. Lebih hebatnya lagi, Gladies saat ini masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Siswi kelas IX SMPN 40 Kota Surabaya ini meraih 1 medali emas dalam kategori 10 meter dari menara putri, kemudian 1 medali emas dalam kategori papan 3 meter putri, dan 1 medali emas dalam kategori papan 1 meter putri. Tak heran, Gladies pun mencuri perhatian Menpora Amali. Dalam konpers daring, Sabtu (16/10/2021), Menpora secara tidak langsung menyebutkan Gladies yang memborong tiga medali emas. “Ada seorang atlet 15 tahun mampu membawa pulang lebih dari satu emas. Ini sangat bagus sebab PON jadi arena untuk atlet muda (meraih prestasi), sesuai dengan tujuan PON.” ujar Menpora. Ada fakta lain yang tak kalah mencengangkan. PON XX Papua 2021 merupakan debut pertama bagi Gladies Larisa Garina di ajang pesta olahraga terbesar di tanah air ini. Ditemui usai ceremony pengalungan medali, gadis 15 tahun ini mengaku tidak menyangka akan meraih tiga medali emas. “Alhamdulillah, rasanya tidak menyangka karena saya baru pertama kali ikut PON dan berhasil mengalahkan senior-senior saya,” ucapnya dilansir dari laman resmi PB PON XX Papua, Jumat, 15 Oktober 2021. Gladies juga gak menyangka di semua nomor pertandingan yang diikutinya berhasil dengan raihan emas. Ia menambahkan, prestasi yang diraih semuanya telah sesuai dengan target. Lebih lanjut, Gladis menyebutkan medali emas yang diperolehnya ini akan dipersembahkan pertama untuk Jawa Timur, lalu buat kedua orangtua, dan sekolahnya.

Belum Genap 17 Tahun, Nabilah Sabet Medali Perak PON XX

Belum Genap 17 Tahun, Nabilah Sabet Medali Perak PON XX

PON XX Papua 2021 memang selalu menghadirkan kejutan, terutama untuk atlet-atlet muda yang menjadikan ajang PON sebagai pembuktian menjadi yang terbaik, sekaligus mengalahkan seniornya. Salah satu kejutan besar terjadi di cabang olahraga renang artistik di nomor solo yang bertanding di Stadion Akuatik Kampung Harapan, Kabupaten Jayapura, Selasa 05 Oktober 2021. Nomor solo open final artistic swimming PON XX Papua ini diikuti enam atlet terbaik dari enam provinsi yang telah lolos seleksi. Mereka merupakan atlet-atlet yang pernah tergabung di tim nasional, dan sebagian besar membela Indonesia di ajang Asian Games 2018 Jakarta. Namun ini tidak membuat nyali putri Ambon ciut, Nabilah Marwa Umarella. Usianya baru 16 tahun, belum memiliki KTP atau Kartu Tanda Penduduk. Justru melawan atlet senior, Nabilah yang akrab disapa Lala semakin percaya diri. “Memang sebenarnya perasaan saya awalnya deg-degan, ada groginya. Ini PON dan saya membawa nama besar kontingen Yogyakarta. Tapi saya tetap fokus untuk bertanding melupakan lawan, fokus pada diri sendiri,” ucap Lala yang lahir 24 Oktober 2004. Tidak hanya muda atletnya, Pelatihnya Ocha, juga pelatih kepala paling muda diantara pelatih kepala daerah lainnya. Ada dua nomor solo technical routine dan solo free routine, keduanya bernilai 50% kemudian digabung untuk mendapatkan nilai terbaik. Pada solo tecnical routine Nabilah atau yang akrab disapa Lala menari-nari di air diiringi lagu dari Meatlove berjudul ‘I Would do anything for love’ dan untuk free routine ada lagu Lathi – Weird Genius feat Sara Fajira, cover by Caramello Official. “Lagu pertama tentang kecintaan Lala pada renang artistik, yang melahirkan kekuatan untuk melewati segala tantangan yang ada. Jadi lagu dan koreografi menceritakan tentang nilai-nilai yang didapat dan akan terus dipegang di dunia olagraga, beserta cerita tentang tantangan-tantangan mempertahankan nilai-nilai tersebut,” ucap Pelatih Ocha. Usai lomba dewan juri akhirnya memberikan nilai kepada Lala dengan tota 71,3602 poin yang terdiri dari nilai technical routine 35,36015 ditambah nilai free routine 36,1. Dengan hasil ini Lala berhak membawa pulang medali perak untuk Kontingen D.I. Yogyakarta. Lala hanya kalah tipis dari sang juara Livia Lukito (Jatim) dengan total nilai 72,4986. Medali perunggu milik Nurfa Nurul Utami (Sulsel) dengan total nilai 71,13 poin. “Senang bisa mendapatkan perak. Saya berlatih setiap harinya di Yogya bersama klub JAQ Yogya. Ini semakin menambah motivasi saya untuk bisa terus berlatih mengejar prestasi dunia lainnya,” ujar Lala. “Ini jadi modal awal Lala, untuk terus giat berlatih karena target berikutnya Lala harus jadi nomor satu di Indonesia dan menggapai prestasi internasional,” harap kedua orang tuanya Muhamad Rizal Umarella dan Ully Pitaloka.

Silviana Sukses Sumbang Emas Cabor Biliar untuk Papua

Silviana Sumbang Emas Cabor Biliar untuk Papua

Silviana Lu sukses menambah medali emas Papua dari Cabang Olahraga Biliar pada nomor 10 ball single putri race to 7. Silviana butuh perjuangan berat untuk menaklukkan Pebiliar Jawa Barat Annita Kanjaya di partai final 10 ball single putri di Venue Biliar Timika, Rabu (6/10/2021). Keduanya saling berebut skor. Penonton yang memenuhi Gedung Biliar Timika juga dibuat tegang saat skor 6-6. Keduanya bersaing ketat mengakhiri pertandingan dengan kemenangan. Keberuntungan berpihak pada atlet kelahiran 29 September 1998 ini, karena terlebih dahulu menurunkan bola 10 dan dinyatakan sebagai pemenang. Skor berakhir 7-6 dengan kemenangan Silviana Lu. Setelah berhasil memasukkan bola kunci, Silviana langsung melompat kegirangan. Tangisnya memecah keharuan, apalagi saat bertanding keluarganya ikut menyaksikan secara langsung. Atlet berusia 23 tahun ini merupakan salah satu atlet biliar nasional yang pernah mewakili Indonesia pada Sea Games Philipine dan mendapatkan perunggu. Ia juga pernah mengikuti kejuaraan dunia. Silviana juga merebut dua medali emas pada PON Jabar 2016 ketika masih memperkuat Kalimantan Barat.

Berkat Kerja Keras dan Dukungan Sang Ibu, Rifda Borong Empat Medali Emas

Berkat Kerja Keras dan Dukungan Sang Ibu, Rifda Borong Empat Medali Emas

Rifda Irfanaluthfi berhasil memenuhi targetnya untuk membawa pulang empat medali emas senam artistik PON Papua. Emas keempatnya diraih di Istora Papua Bangkit, Senin, 4 Oktober 2021, lewat penampilannya di nomor lantai. Pesenam berusia 21 tahun tersebut mengungguli 7 peserta lainnya termasuk satu perwakilan dari DKI Jakarta, serta dari Riau, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Papua. Sebelumnya, Rifda sudah menyabet tiga medali emas yang berasal dari beregu, serba bisa perorangan putri, dan meja lompat. Tentu kemenangan itu menjadi suatu kebanggaan karena untuk nomor beregu putri setelah 25 tahun vakum, DKI Jakarta yang memutuskan kembali ikut ambil bagian dalam nomor itu justru mendapatkan kemenangan tertinggi. Kemenangan itu pun berhasil menjawab harapan Rifda yang memang sudah langganan memenangkan medali di setiap perlombaan yang ia ikuti. Di balik laguh lagah kegiatan para atlet senam yang berlangsung di arena Istora Papua Bangkit, ada banyak dukungan dari anggota tim lainnya hingga keluarga atlet yang hadir di bangku penonton hingga akhirnya para juara bisa muncul di PON XX Papua. Bagi Rifda, salah satu sistem pendukungnya yang paling setia yaitu ibunya Yulies Andriana telah mengirimkan energi baik yang akhirnya bisa membuatnya meraih prestasi gemilang di PON XX Papua. “Kalau ada bunda, aku tampil lebih tenang dan lebih fokus,” kata Rifda saat diwawancarai seusai menyelesaikan penampilannya. Ia pun dengan bangga mengenalkan sang bunda kepada awak media dan akhirnya kami pun bercengkrama mendengar sepotong kisah perjuangan ibu Yulies mengawal Rifda untuk tampil pada PON pertama yang diselenggarakan di Bumi Cendrawasih. Sudah menjadi semacam tradisi bagi Yulies yang kini berusia 53 tahun untuk menyaksikan Rifda bertanding menjadi seorang atlet. Berbagai arena perlombaan skala regional, nasional, hingga internasional sudah pernah ia sambangi untuk memberikan energi baik kepada putrinya kala berkompetisi sebagai seorang pesenam. Ia bahkan pernah menjadi satu-satunya pendukung Rifda dan Indonesia di ajang SEA Games Malaysia pada 2017 yang mengantarkan Indonesia meraih medali emas. Oleh karena itu, pada perhelatan PON Papua Yulies tak mau tertinggal untuk kembali mendukung Rifda. Awalnya Yulies memang urung untuk datang ke Papua karena harus merawat ibunya yang mengalami sakit keras jauh hari dari waktu PON XX digelar. Namun takdir berkata lain, sang ibu tutup usia mendekati pelaksanaan pesta olahraga skala nasional empat tahunan itu. Dalam kondisi itu, Yulies pun masih sangat ingin mendampingi putrinya dan mencari cara agar bisa tiba di Bumi Cendrawasih sebelum Rifda dan tim DKI Jakarta bertanding pada 1 Oktober. Setelah proses pencarian yang begitu mendadak dan tak gampang, Yulies akhirnya berhasil mendapatkan tiket untuk terbang satu hari sebelum pertandingan senam artistik digelar. Ia pun sangat bersyukur dan optimistis anaknya bisa gemilang di perhelatan PON XX Papua. “Bagi saya menerima rapor itu biasa, tapi ikut mendampingi anak ke sebuah pertandingan menjadi sesuatu yang saya tunggu-tunggu,” katanya.

PON Tiap Dua Tahun, Menpora : Percepat Pembinaan Atlet dan Infrastruktur Olahraga di Daerah

Menpora Imam Nahrawi menyebut PON dua tahun sekali akan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada atlet-atlet Indonesia untuk menunjukkan prestasinya. (Kemenpora)

Jakarta- Pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) yang semula dihelat setiap empat tahun sekali bakal berubah menjadi dua tahun sekali. Hal itu disinyalir bisa membantu proses pembinaan atlet Indonesia serta pembangunan infrastruktur olahraga di daerah dengan cepat. Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), mengatakan percepatan penyelenggaraan PON memberi kesempatan seluas-luasnya kepada atlet-atlet Indonesia untuk menunjukkan prestasinya. “Ada percepatan atlet untuk belajar bertanding di PON. Institusi di bidang olahraga terkait kebijakan untuk pembatasan usia, sehingga lebih cepat atlet bertanding. Ini membantu proses pembibitan atlet di daerah, ” ujarnya saat pembukaan Musornas dan Rakernas Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu (25/4). Selain itu, ia menyebut pelaksanaan PON dua tahun sekali dengan melibatkan dua daerah akan membantu percepatan pembangunan infrastruktur di daerah. “Kalau dua tahun sekali, saya yakin pembangunan infrastuktur olahraga juga akan ikut berkembang dengan baik. Tapi itu semua butuh kesiapan pemerintah daerah masing-masing,” lanjutnya. Pada Musornas dan Rakernas KONI 2018 telah memutuskan melalui pemungutan suara dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara (Sumut) mendapatkan 24 suara untuk menjadi tuan rumah PON 2024. Sedangkan dua calon tuan rumah lainnya yakni Bali dan Nusa Tenggara Barat hanya mendapatkan 8 suara. Kemudian Kalimantan Selatan (Kalsel) hanya memperoleh 2 suara. “Selamat kepada Aceh dan Sumatera Utara yang akan menjadi tuan rumah PON 2024,” tukas Imam. (Adt)