Harapan Btari Bela Swatitis Memajukan Wushu di Papua

Harapan Btari Bela Swatitis Memajukan Wushu di Papua

“Saya mulai detik ini menjadi atlet Papua.” Kalimat itu kembali ditekankan oleh Btari Bela Swatitis, seorang atlet muda cabang olahraga wushu yang baru pertama kali ikut serta di Pekan Olahraga Nasional. Btari unjuk kebolehan memperagakan jurus taiji tangan kosong dan pedang ketika menjalankan tugasnya mewakili tuan rumah di cabang olahraga wushu PON XX Papua klaster Merauke. Menjadi debutan tak membuat gentar perempuan kelahiran Surabaya pada 14 November 1998 itu menantang atlet-atlet wushu lebih berpengalaman dan yang datang dari berbagai daerah yang notabene merupakan unggulan di kompetisi seni beladiri asal negeri Tirai Bambu itu. “Tak akan gentar, karena kita semua sama-sama makan nasi lalu kenapa harus merasa gentar. Enggak ada yang perlu ditakutkan,” kata Btari saat ditemui setelah bertanding di GOR Futsal KONI, Merauke, Papua. Meski harus puas finis di peringkat paling buncit untuk nomor kombinasi taolu, namun tak semburat rasa kecewa di raut wajah sosok perempuan yang telah mengenal wushu sejak usia 12 tahun itu. Bagi Btari, kekalahan di ajang pesta olahraga multi cabang ini bukanlah akhir segalanya. Ia justru melihat momentum di Merauke ini menjadi titik awal untuk menata diri guna mengukir prestasi di ajang-ajang kompetisi wushu berikutnya. Berbekal pengalaman perdana di PON kali ini, semangat putri dari drs. Pujianto dan Siti Zuhaini itu justru semakin membara menatap kejuaraan selanjutnya. “Dari sini saya tahu lawan-lawannya seperti apa, saya semangat lagi karena sudah tahu kekurangannya,” kata dia. Perempuan yang lahir dan besar di Surabaya itu sekarang berdomisili di Merauke setelah dipanggil untuk membela tim wushu Papua pada 2018 silam. Ia pun baru menjalani setumpuk porsi latihan di Bumi Cenderawasih pada 2020 sebelum gejolak pandemi Covid-19 memukul dunia olahraga pada khususnya dan bahkan wabah virus corona ini membuat penyelenggaraan PON terpaksa mundur satu tahun. Cabang olahraga wushu itu sendiri sebenarnya masih tergolong jenis olahraga yang terasa asing di Tanah Papua dan Btari pun mengakui hal itu. “Wushu masih tergolong olahraga baru di sini, rata-rata orang di sini pun tidak tahu wushu itu apa,” kata Btari. Warga setempat yang penasaran dengan jurus-jurus wushu dapat menyaksikan Btari dan rekan-rekannya berlatih di pantai Lampu Satu, salah satu spot wisata favorit di Merauke. Akan tetapi dengan keterbatasan fasilitas seperti arena dan pelatih teknik, tim wushu taolu Papua harus terbang ke luar kota untuk memperdalam ilmu dan menyempurnakan jurus-jurus mereka. “Di Papua wushu memang termasuk jenis olahraga yang masih baru, sehingga kami tidak disediakan (arena) di Merauke, jika kami mau latihan teknik maka kami harus terbang ke Jawa Timur. Jadi di sini kami latihan fisik saja,” kata Btari. Meski wushu tergolong baru di Papua, tak sedikit warga setempat yang menyempatkan diri untuk menonton pertandingan nomor taolu di PON, dan tribun semakin semarak ketika nomor sanda dipertandingkan pada sesi siang. Sejumlah dari mereka bahkan memboyong sejumlah perangkat drum yang ditabuh untuk menyemangati atlet Papua yang bertanding dan tak jarang pula menghaturkan respek kepada atlet daerah lain apabila mereka mengalahkan wakil tuan rumah. Semangat para suporter mermbuat Btari punya keyakinan jika cabang olahraga wushu akan kian berkembang dan digandrungi masyarakat Papua terutama di kalangan generasi muda. Momen pesta olahraga empat tahunan nasional ini, menurut Btari adalah saat yang tepat untuk lebih mengenalkan wushu dan ia juga mengutarakan harapannya untuk ikut mempopullerkan wushu dan memajukan olahraga seni beladiri di bumi cendrawasih. “Harapan saya mulai hari ini dan seterusnya warga Papua, warga Merauke sudah lebih tahu wushu itu seperti apa. Jadi, untuk ke depannya saya berharap adik-adik saya yang junior itu dapat ikut latihan, jadi di Papua ini tidak cuma segelintir orang saja yang bisa berolahraga wushu,” ujar Btari. Apabila wushu mendapat tempat hati di warga setempat, Papua juga memiliki peluang mengirimkan wakil-wakil yang lebih banyak di kejuaraan tingkat nasional. “Jadi saya menyimpan harapan juga nantinya anak-anak kecil ini dibina, kita jadikan atlet wushu yang top dan mumpuni,” kata Btari. Wushu juga merupakan olahraga yang asyik, ungkap Btari, karena banyak mengajarkan gerakan-gerakan akrobatik yang memukau. Selain itu, wushu juga bisa dijadikan olahraga di masa senja, khususnya taiji yang banyak dipraktekkan oleh mereka yang rata-rata berusia di atas 60-70 tahun, dan bahkan masih bisa mengikuti kejuaraan di rentang usia tersebut. “Bukan hanya untuk prestasi tapi kebanggaan dan kesehatan juga. Dan rata-rata orang yang ikut wushu itu dia panjang umur karena dari kecil sudah diajarkan hidup sehat, bagaimana cara mengolah badan mereka sendiri,” pungkasnya.

Jakarta International Tennis Academy Bangun Karakter Petenis Muda Berprestasi Internasional

Jakarta International Tennis Academy (JITA) konsisten membangun karakter bibit-bibit petenis muda berbakat dengan prestasi internasional. (Pras/NYSN)

Jakarta- Berawal dari mimpi seorang bernama Goenawan Tedjo, Jakarta International Tennis Academy (JITA) konsisten membangun karakter bibit-bibit petenis muda berbakat dengan prestasi internasional. Bergabung dengan JITA, artinya setiap anak ditempa dengan berbagai metode pelatihan untuk membentuk kemampuan fisik, teknik, karakter, serta membangun mental juara. “Visi dan misinya adalah ingin membentuk pemain dengan prestasi internasional. Tetapi, dasarnya adalah membangun karakter melalui tenis. Sehingga tidak hanya mencetak juara. Namun yang ditekankan adalah juara dengan karakter baik,” ujar Goenawan, Founder JITA, di Kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu. Karakter pertama yang harus dimiliki yakni sportif, sopan, dan memiliki respect terhadap lawan, wasit, pebimbing, pelatih, dan terpenting orang tua. Sebab saat mereka jadi pemain top, maka akan menjadi idola generasi muda. Dan, idola itu harus memiliki karakter yang bagus. Sebab akan menjadi panutan “Kadang-kadang, ada anak yang tidak mau ditonton sama orang tuanya. Itu tidak boleh terjadi disini. Mereka harus punya respect pada orang tua. Sebab, orang tua yang membiayai mereka untuk bergabung disini,” lanjut pria kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 4 Agustus 1961 itu. Kini, JITA telah memiliki banyak petenis binaan. Tak tanggung-tanggung jumlahnya mencapai lebih dari ratusan petenis. Awalnya, akademi ini bernama Goenawan Fans Tennis Club, hingga berganti nama menjadi JITA pada 2005. Perubahan nama itu bukan tanpa alasan. Selain warga negara Indonesia (WNI), petenis binaan JITA sekitar 35 persennya adalah berkebangsaan asing. Bahkan, sebagai dari mereka sudah mulai berlaga di berbagai turnamen tenis internasional. “Di level junior nasional, petenis binaan JITA banyak berprestasi dan mengisi slot rangking 1 hingga 10. Mereka bermain hingga SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas), lalu melanjutkan ke Universitas. Ketika mereka kuliah mendapatkan sponsor atau scholarship. Disini itu cukup banyak,” tambah pria penyuka kuliner Indonesia itu. Disisi lain, minat generasi muda terhadap tenis, diakui pria yang juga memiliki hobi bermain golf itu, sat ini agak menurun. Namun, itu jadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara jasa seperti JITA. “Bagaimana caranya membuat suasana pelatihan menjadi menarik. Dengan begitu mereka tetap memprioritaskan tenis dibandingkan dengan pilihan yang lain. Karena saat ini kami berkompetisi dengan gadget. Ini menjadi tantangan untuk mereka bisa tertarik datang ke outdoor untuk bermain tenis,” tuturnya. “Terkadang orang mengajar saja, namun suasananya membosankan. Sehingga minat dan ketertarikan mereka terhadap tenis makin turun. Itu yang kami terapkan di JITA, maka jumlah petenis binaan disini tetap stabil,” urai pria yang mulai mengajar tenis sejak 1981 itu. Sementara, demi menghasilkan petenis berkualitas, Goenawan mengkritisi dukungan pemerintah. Ia berharap minat pemerintah dalam mendukung olahraga di Tanah Air terus meningkat. “Sejauh ini pemerintah telah memberikan dukungan bukan hanya tenis. Tapi, dukungan itu belum cukup. Kalau mau berprestasi sampai level Asia saja itu masih kurang, apalagi dunia. Bukan pemerintah tidak membantu, memang masih sangat kurang,” tukasnya. “Contoh Singapura. Meski negara kecil, namun pemerintahnya mengalokasikan dana untuk olahraga sangat besar. Hasilnya, mereka membangun fasilitas dan sarana olahraga yang bagus. Boleh dibilang mewah dan lengkap. Dengan begitu maka orang-orang akan lebih senang berolahraga,” ungkapnya. Selain itu, menurutnya, iklim ber kompetisi yang rutin, menjadi sarat mutlak bagi seorang petenis, agar mampu dan bisa bersaing di level permainan yang lebih tinggi. “Mereka harus travelling ikut pertandingan ke luar negeri. Tapi untuk apa? Tentu semua perlu biaya. Terkadang ada atlet yang menang di PON (Pekan Olahraga Nasional) dapat bonus uang. Dan, jangan hanya disimpan, tapi itulah yang dipakai untuk membiayai dirinya mengikuti pertandingan ke luar negeri,” jelasnya. Dengan rutin bertanding di luar negeri, peringkatnya naik dan permainannya makin bagus. Maka profit akan mengikuti. Bagi Goenawan, mengandalkan pemerintah dan ponsor sangat sulit. Dikatakannya, pengalaman dan jam terbang sangat utama. Bila dahulu banyak bermunculan klub-klub tenis besar, namun saat ini kondisinya sudah berbeda. “Harapannya muncul kembali liga antar klub. Ini bisa menggairahkan minat dari para petinggi perusahaan untuk mendirikan klub serta membina para pemainnya. Kalau saat ini belum ada, maka tiap individu-individu itu harus pintar mengelola keuangannya,” tutup ayah empat anak itu. (Adt)