Pembinaan Atlet Paralympian Di Daerah Minim, Pelatih : Kami Harus Mulai Dari Nol

Trio pelatih tim voli putri paralympic Indonesia yakni Achmad Suparto, Deddy Whinata, dan Matsuri akan diuji pada Asian Para Games 2018, Oktober. (Kemenpora)

Jakarta- Tiga pria asal Sumenep, Madura, Jawa Timur, yakni Achmad Suparto, Deddy Whinata dan Matsuri, dipercaya menjadi pelatih tim voli Paralympic Indonesia. Bagi trio Madura ini tak mudah menjadi pelatih atlet disabilitas. Kesulitan terbesar yang mereka hadapi adalah saat memompa mental dan percaya diri atlet yang sebagian besar memiliki keterbatasan fisik. Deddy mengatakan melatih atlet voli paralympian sangat berbeda dengan dengan atlet voli biasa. Terutama, dalam pergerakan tubuh. Sementara, menurutnya, pergerakan dan teknik dasar dalam permainan voli duduk, sangat berbeda dengan voli biasa. “Kami melatih mereka dari dasar, karena teknik pergerakan tubuh, sangat penting dalam pertandingan. Sementara pembinaan atlet paralympian di daerah sangat minim. Jadi kami harus memulainya dari nol,” ujar Dedy usai laga kontra Kazakhstan, Rabu (9/5), dalam Kejuaraan Dunia ParaVolley Wanita 2018 di Chengdu, China, 7-12 Mei. Deddy menyebut ketika di lapangan, peran pelatih sangat penting untuk menentukan hasil pertandingan. Untuk itu, Deddy bersama pelatih lainnya, selain meracik strategi untuk meraih kemenangan, juga kerap mengontrol kondisi mental pemain. Sebab, masalah mental, ungkap Deddy, merupakan pondasi utama bagi pemain menghasilkan pertandingan yang baik. “Kalau semangat mereka sangat antusias dalam melaksanakan program latihan yang sudah diterapkan pelatih. Hanya saat bertanding, kami seringkali membangun mental mereka dengan semangat bertanding,” cetusnya. “Kadang mereka dilihat orang jadi kecil hati dan berpengaruh terhadap mental mereka di lapangan. Jadi mengontrol mental mereka, saya akui menjadi masalah utama yang harus diperhatikan dengan baik,” urai Deddy. Tampil di event internasional ini dikatakan Deddy sangat penting membangun mental pemain. Ia melanjutkan tiga pertandingan pertama sangat terlihat mental anak asuhnya turun ketika menghadapi tim-tim besar seperti China, Ukraina dan Jepang. “Kami tak mematok target pada kejuaraan ini. Kami ingin menguji mental para pemain menghadapi tim kuat seperti China atau Rusia. Hasilnya jadi bekal kami di Asian Para Games 2018,” timpal Achmad. Sedangkan kiprah trio pelatih tim voli putri Paralympic Indonesia ini diuji pada Asian Para Games pada Oktober mendatang. Dedy dan Achmad yang sudah memiliki lisensi pelatih ParaVolley level I Internasional ini, diharapkan bisa memberikan kontribusi besar untuk tim Indonesia. “Kami bertiga yakin bisa memberikan yang terbaik untuk tim voli putri paralympic Indonesia di Asian Para Games nanti. Apalagi kami nanti menyandang predikat sebagai tuan rumah,” tutup Dedy. (Adt)

Lika Liku Lisensi Kursus Pelatih di Indonesia

Lisensi D yang dimiliki seorang pelatih, merupakan bagian dari Introductory/Grassroots yang dimaksud dalam piramida AFC. (panditfootball.com)

Jakarta- Indonesia awalnya mengenali lisensi pelatih C Nasional, B Nasional, dan A Nasional. Tapi saat ini, lisensi tersebut sudah tidak berlaku lagi karena prosedur dan aturan kursus kepelatihan di setiap negara, langsung dipegang oleh konfederasi sepakbola benua masing-masing. Dilansir panditfootball.com, maka untuk Indonesia, aturan kursus kepelatihan mengacu pada aturan yang dikeluarkan konfederasi sepakbola Asia, AFC. Maka lisensi-lisensi pelatih yang berlaku Indonesia bukan lagi C Nasional, B Nasional, atau A Nasional, melainkan C AFC, B AFC, A AFC dan AFC Pro. AFC sebenarnya sudah memulai kursus-kursus kepelatihan sejak 1989. Tapi untuk tingkatan C, B, dan A, baru dimulai bertahap sejak 1994. Level AFC Pro baru mulai digelar per 2001. Semakin berkembangnya zaman, lisensi kepelatihan pun tak hanya sekadar menjadi pelatih klub sepakbola profesional, tapi memunculkan spesialiasi kepelatihan lainnya seperti pelatih kiper, pelatih fisik, dan pelatih futsal pada 2006. Bahkan pada 2008, mulai digelar kepelatihan sepakbola untuk penyandang disabilitas. Dengan perkembangan kepelatihan AFC di atas, maka AFC kini memiliki tingkatan sendiri, dalam level kepelatihan. AFC pun mengejawantahkan level kepelatihan AFC tersebut dengan “AFC Coaching Progression Pyramid”. Hal ini menjawab keraguan bagi mereka yang bercita-cita menjadi pelatih. Karena saat mencari informasi terkait proses merintis karier sebagai pelatih, maka jawaban yang tersedia yakni PSSI sebagai federasi sepakbola Indonesia, hanya menggelar lisensi C AFC sebagai level terendah kepelatihan. Sementara untuk persyaratan yang wajib dipenuhi dalam mengikuti kursus kepelatihan tersebut, sebagaimana yang dirilis AFC, wajib memiliki pengalaman bermain yang didukung oleh Curriculum Vitae. Termasuk adanya kursus kepelatihan lisensi D di Indonesia. Awalnya lisensi D seolah tidak ada dalam piramida AFC, dan punya risiko tak diakui. Tapi ternyata, setelah memahami, lisensi D tersebut merupakan bagian dari Introductory/Grassroots yang dimaksud dalam piramida AFC. Untuk Introductory/Grassroots ini, AFC tak mensyaratkan khusus seperti syarat mengikuti kursus C AFC, B AFC, dan seterusnya. AFC menyerahkan pada setiap anggota federasi sepakbolanya dalam mengembangkan pendidikan kepelatihan untuk akar rumput, atau usia muda di negaranya masing-masing. Lalu apakah lisensi D ini berlaku atau tidak? Ternyata ini bisa menjadi jawaban atas persyaratan C AFC di atas, terkait poin keenam yaitu mengenai “Coaching Capacity”. Apalagi penyelenggaraan kursus kepelatihan lisensi D pun memang dibawahi oleh PSSI. Kelak, nantinya PSSI yang bisa merekomendasikan pelatih yang berlisensi D tersebut pada AFC, sebagai syarat pengganti “Playing Experience”, jika ingin mengikuti kursus kepelatihan C AFC. Pada kursus kepelatihan lisensi D alias lisensi kepelatihan akar rumput (grassroots), karena diselenggarakan oleh masing-masing federasi negara, maka persyaratannya pun diatur oleh masing-masing federasi. Untuk di Indonesia, lisensi D ini biasanya bisa diselenggarakan lewat Asprov (asosiasi sepakbola tingkat provinsi) atau Askot (asosiasi sepakbola tingkat kota) daerah masing-masing. Hanya saja, jika mengikuti kursus kepelatihan lisensi D yang diselenggarakan Asprov atau Askot, terdapat salah satu persyaratan harus memiliki surat rekomendasi dari Sekolah Sepak Bola (SSB) atau Persatuan Sepakbola (PS). Untuk mendapatkan ini, bagi orang awam, syarat ini berarti harus aktif setidaknya di SSB atau PS, yang terdaftar di Asprov atau Askot, baik sekedar bertugas membantu pelatih-pelatih di sana, atau hanya untuk mendapatkan rekomendasi. Kini, Villa 2000 Football Academy, bisa menyelenggarakan proses kursus kepelatihan lisensi D, tanpa harus menyerahkan surat rekomendasi dari SSB atau PS (bahkan hanya mengirimkan foto KTP saja), sehingga bagi yang tak punya pengalaman melatih pun, bisa mengikuti kursus ini. Namun, biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti kursus kepelatihan di Villa 2000 lebih mahal dari yang diselenggarakan di Asprov atau Askot. Yang perlu menjadi catatan, berapapun biaya yang dikeluarkan untuk lisensi D, dijamin tak akan merugikan, karena partisipan lisensi D semua akan diloloskan. Hal ini tak seperti C AFC, B AFC, dan seterusnya, yang punya kemungkinan gagal mendapatkan lisensi. Untuk biaya mengikuti lisensi D ini, partisipan akan merogoh kocek mulai dari 3 juta sampai 4,5 juta rupiah. Materi yang dibahas pun seputar FIFA Laws of the Game dan cara melatih anak-anak usia dini, dimulai dari umur 6 tahun sampai 13 tahun. Durasi agenda pelatihan, minimal 6 hari (total minimal 30 jam pembelajaran teori dan praktik). Di hari terakhir pelatihan, walau semua calon pelatih dipastikan lulus, tetap harus mengikuti ujian teori dan ujian praktik. Saat ini, kursus kepelatihan lisensi D di Indonesia, sangat disesuaikan dengan kursus kepelatihan Lisensi C AFC, sehingga ketika mengikuti lisensi C AFC sudah familier. (art)