Seberapa Pentingkah Peran Pemain Naturalisasi Untuk Timnas Indonesia?

spasojevic

Indonesia dalam hal prestasi sepakbola memang masih belum menunjukan prestasinya yang luar biasa. Pada saat di era kepemimpinan Nurdin Halid tahun 2006, muncul sebuah ide gila untuk mengangkat prestasi sepakbola Indonesia muncul melalui proses naturalisasi. Namun, ide gila ini mendapat pertentangan dari berbagi kalangan, karena Nurdin Halid pada saat itu mengambil sembilan pemain Brazil usia 23 tahun untuk dijadikan pemain timnas Indonesia. Empat tahun berselang, tepatnya tahun 2010. Sistem naturalisasi pemain asing makin kencang. Tetapi, kali ini caranya lebih masuk akal. Diantaranya dengan pola menjadikan pemain asing yang sudah lama tinggal di Indonesia, untuk memeluk kewarganegaraan Indonesia. Produk unggulnya sebut saja Cristian Gonzales, menjadi pemain pertama yang diambil sumpahnya untuk menjadi WNI dan membela timnas Indonesia. Piala AFF menjadi ajang pembuktian, Gonzales di timnas Indonesia. Meski, di ajang AFF 2010 hanya menjadi runner-up, setelah di final kalah melawan Malaysia. Disana PSSI melihat ada peningkatan dalam prestasi, karena semenjak Gonzales bergabung di timnas Indonesia, ini yang membuat PSSI ketagihan atau terus gencar melakukan naturalisasi pemain. Hasilnya, terdapat John Van Bukhering, Tony Cussel, Kim Jefry Kurniawan, Irfan Bachdim, Victor Igbonefo, Bio Paulin, Diego Michiels, Stefano Lilipaly dan yang terbaru terdapat Ilija Spasojevic. Tapi, apakah sudah tepat naturalisasi pemain untuk peningkatan prestasi Indonesia di level Asia atau Asia Tenggara? Tim nysnmedia.com mencoba berbincang hangat dengan pengamat sekaligus wartawan sepakbola Hanif Marjuni. Bung Hanif sapaan akrabnya, yang sudah malang melintang di dunia sepakbola Nasional mengatakan, bahwa naturalisasi untuk membawa jangka panjang sepakbola Indonesia itu penting. Tapi, skalanya hanya untuk menjadi pemicu para pemain lokal untuk bisa bersaing dengan pemain naturalisasi. “Dalam jangka waktu yang panjang itu bisa di katakan penting, tapi kadarnya sebagai pemicu saja, bukan untuk skala yang luas. Karena, kalau kita meliat naturalisasi sebagi proyeksi instan iya, tapi untuk perkembangan timnas saat ini. Kita melihat sebagai jangka panjang untuk menjadi pemicu pemain lokal atau bakat-bakat pemain Indonesia untuk lebih,” terang Bung Hanif kepada nysnmedia.com. Dirinya pun, melihat dua sampai tiga tahun menjadi pemicu untuk pemain lokal. Apalagi, masalah harga pemain lokal sudah bisa bersaing dengan pemain asing. Terlebih, naturalisasi bagi timnas Indonesia belum mampu mengangkat prestasi bagi timnas. Namun, ada sisi baiknya juga dalam hal naturalisasi bagi timnas Indonesia. “Setidaknya sepakbola bukan hanya prestasi saja, tapi dalam sisi entertainment berhasil. Ada perhatian dari public tentang perkembangan sepakbola di Indonesia. Ya, terlepas gagal membangkitkan prestasi sepakbola Indonesia,” tuturnya. Pemain naturalisasi diusia keemasannya, diharapkan mampu memberikan ilmu kepada pemain lokal untuk bisa bersaing sehat. Masyarakat Indonesia pastinya sangat rindu akan prestasi timnas Indonesia, bukan rindu akan masalah. Maju terus sepakbola Indonesia ! (pah/adt)

Peran Lingkungan Menjadi Pusat Ruang Interaksi Publik

taman

Dalam pandangan saya bahwa terciptanya peran serta masyarakat terhadap rasa kepedulian merupakan tolak ukur keberhasilan pemerintah dalam mengimplementasikan tehnis program secara inovatif terutama untuk lingkungan. Karena pada dasarnya tingkat kepuasan masyarakat merupakan point penting dalam target pelayanan terhadap pengelolaan anggaran yang di lakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Dari catatan tersebut bisa kita garis bawahi, bahwa sebagus apapun program yang di gulirkan oleh pemerintah, tidak akan berhasil menyentuh ke masyarakat bila tidak melibatkan masyarakat itu sendiri. Pandangan ini membuat saya aktivis lingkungan untuk turut mengangkat sebuah tulisan yang berjudul Peran Lingkungan Menjadi Pusat Ruang Interaksi Publik. Dalam hal lingkungan, saya mencoba mengaitkan dengan kebiasaan orang pada umumnya, budaya silaturahmi, bersenda gurau, hingga melakukan rutinitas menjaga kebugaran tubuh di dalam lingkungan yang sama. Pada moment ini pentingnya peran lingkungan terhadap semua isi didalamnya merupakan masalah penting yang kita perhatikan, dari mulai menjaga lingkungan, mengikuti aturan, ataupun memaksimalkan lingkungan tersebut menjadi titik sentral manusia sebagai mahluk sosial seutuhnya. Mengerucut dalam sebuah tempat yang menjadi sumber kesehatan sebuah kota wilayah yang ideal di Indonesia. Salah satunya adalah tersedia Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang memadai, karena logika sederhananya adalah “Bagaimana manusianya ingin sehat bila kotanya sedang sakit, dan begitupun sebaliknya jika kota atau lingkungannya sehat, sudah pasti masyarakat di dalamnya akan ikut sehat juga.” demikian menurut saya. Tidak hanya itu fungsi dan peran lingkungan, ada catatan penting yang harus kita ingat bahwa RTH ini di percaya sebagai paru paru kota, sebuah bagian penting dalam kehidupan yang di terapkan untuk semua mahluk hidup yaitu sumber nafas yang di hasilkan oleh beberapa jenis tumbuhan besar yang di percaya dapat menyaring polusi udara dan pemanasan global (global warming) oleh karena itu, terjaganya paru paru kota di yakini sebagai bentuk keberhasilan manusia dalam meningkatkan rasa kepedulian terhadap lingkungan masing-masing. Dari pantauan saya di salah satu tempat di wilayah Kota Tangerang Selatan yaitu Taman Kota 1, Serpong BSD yang tak lain merupakan fasum fasos peninggalan pengembang perumahan yang menyediakan lahan hunian ideal, ternyata masih terjaga dengan baik hingga saat ini, dimana lahan tersebut di manfaatkan oleh warga sekitar menjadi pusat kebugaran yang menyehatkan. Sudah pasti perbedaannya sangat jelas dengan konsep kebugaran alami, jika banyak pusat kebugaran yang ada saat ini selalu memakai konsep indoor itu untuk kebugaran tubuh, bukan untuk mendapatkan prioritas tersedianya udara yang sehat. Dalam hal ini saya juga tidak menganggap bahwa pusat kebugaran tubuh indoor itu tidak sehat, karena bicara kesehatan adalah alami (natural organic), tercipta dari alam dan kembali bersama alam. Terlepas dari hal tersebut, bahwa Taman Kota bisa di maksimalkan lagi menjadi ruang interaksi publik, dimana marwah manusia sebagai mahluk sosial ini mendambakan sebuah tempat ideal para komunitas, yang berbaur dari satu dengan yang lainnya. Dan dari pantauan saya, Taman Kota belum berhasil menjadi tempat percontohan kebangkitan olahraga, kesenian, budaya, perdagangan seperti yang dambaan masyarakat pada umumnya menuju tempat ideal ruang interaksi publik. Kita dapat belajar dari kebiasaan orang pada umumnya, bahwa generasi yang menyukai olahraga sangat kecil kemungkinan orang tersebut menggunakan barang kimia berbahaya, seperti narkotika dan obat obatan berbahaya (NARKOBA). Karena pada umumnya jika seseorang menggunakan narkoba biasanya cenderung malas, ataupun kata lain yang sering di sebut dalam pelaku narkoba adalah “ngefly”. Alangkah baiknya fungsi taman kota bisa di ramaikan lagi dengan aktifitas lain semua komunitas, seperti komunitas fotography, pencinta lingkungan, ataupun komunitas penyayang hewan, para pelaku UMKM, sampai menjadi tempat wisata murah bagi setiap keluarga sehat. Secara tidak langsung, jika maksimalisasi tempat tersebut berhasil di terapkan, niscaya sarana publikasi menyeluruh dari masyarakat mengangkat nama besar tempat ataupun kota itu mendapatkan pengakuan kota yang sehat secara nasional bahkan internasional. Terbatasnya ruang interaksi publik ini dapat kita cirikan ketika banyaknya kegiatan olahraga yang di kampanyekan oleh pemerintah dengan cara mengajak memfungsikan lahan baru yang bukan peruntukannya menjadi ruang interaksi publik, seperti program rutin “car freeday”. Program ini berlatar belakang dari menjaga lingkungan sehat sampai dengan mengajak masyarakat supaya turut berolahraga dalam program tersebut. Secara otomatis, tempat yang semula menjadi sarana infrastruktur kendaraan berubah sekejap menjadi pusat kegiatan masyarakat dalam berolahraga sekaligus menjadi pusat masyarakat berinteraksi dan bersilaturahmi. Menjaga lingkungan tidak harus dengan cara ikut turut dalam kegiatan tersebut, tapi juga dengan menilai bahwa program yang sedang di jalankan adalah positif bagi kelangsungan lingkungan ideal. Lalu bagaimana menurut pembaca NYSN? Karena runtuhnya sebuah lingkungan bisa saja terjadi, apabila semua lapisan masyarakat tidak melakukan aksi sukarela kepedulian terhadap lingkungannya masing-masing. Di susun oleh : Tb Ardhiansyah, Wk Ketua Bid Sosial & Politik Dewan Pengurus Agung (DPA) Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Republik Indonesia (GMPRI), dan Redaktur Pelaksana nysnmedia.com.